Beranda | Artikel
Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 9): Menyebutkan Keutamaan Diri Sendiri
9 jam lalu

Salah satu sebab perselisihan adalah kurangnya pengetahuan seseorang terhadap kedudukan orang lain. Dampak dari hal ini adalah kurangnya adab dalam memperlakukan orang tersebut. Sehingga interaksi tersebut keluar dari sekadar perselisihan ilmiah menjadi perselisihan emosional.

Sebagaimana yang telah disebutkan, di antara asas dalam berdakwah dan menghadapi perselisihan adalah mengetahui kadar orang lain. Asas lainnya adalah memandang diri sendiri lebih rendah dari seharusnya–tawaduk, sehingga terwujud rasa damai dalam perselisihan. Kedua asas ini akan mencegah banyak perselisihan, serta meredakan pertentangan.

Selain asas yang telah tersebutkan, terdapat pula satu asas yang menjaga keseimbangan dari proses dakwah: menetapkan kadar diri dan menyebutkannya di hadapan orang lain.

Landasan dalil: Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam

Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau pernah mengajukan diri sebagai menteri dengan menyebutkan alasan, yakni keutamaan yang dimilikinya. Hal ini diabadikan oleh Allah ﷻ di dalam cuplikan firman-Nya,

قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55)

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan ayat ini dalam konteks meminta jabatan,

وَأما سُؤال الْولَايَة فقد ذمه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَأما سُؤال يُوسُف وَقَوله {اجْعَلنِي على خَزَائِن الأَرْض} فَلِأَنَّهُ كَانَ طَرِيقا إِلَى أَن يَدعُوهُم إِلَى الله ويعدل بَين النَّاس وَيرْفَع عَنْهُم الظُّلم وَيفْعل من الْخَيْر مالم يَكُونُوا يفعلوه

“Meminta menjadi pemimpin adalah sesuatu yang diolok Rasulullah, namun permintaan Yusuf ini kerena itu merupakan jalan untuk berdakwah kepada Allah, memberi keadilan kepada masyarakat, menghilangkan kezaliman yang mereka alami, dan melakukan berbagai kebaikan yang dahulu tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.” (Mukhtashar al-Fatawa al-Misriyah, hal. 564; via maktabah syamilah) [1]

Artinya, dalam beberapa keadaan memang dibolehkan menyebutkan keutamaan diri selama ada kebutuhan. Hal ini dicontohkan oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan tidak mendapatkan celaan ataupun catatan berarti. Karena tujuan dari penyebutan hal tersebut karena adanya maslahat bahwa dibutuhkan sosok yang berkompeten di bidang yang mengurus umat. Pada saat itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam melihat dirinya memiliki kemampuan itu tanpa bermaksud meninggikan dirinya.

Landasan dalil: Marahnya Nabi ﷺ karena dituduh tidak adil

Dalam Perang Hunain, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang cukup banyak. Namun, saat itu Nabi ﷺ berijtihad untuk membagikan ghanimah dengan takaran yang beragam. Lalu dari kalangan Badui tidak terima dengan keputusan ini. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,

يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ

“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!” (HR. Ibnu Majah no. 172, disebutkan pula dalam Bukhari-Muslim) [2]

Nabi ﷺ dalam kesempatan ini memberikan pernyataan bahwa dirinya adalah sosok paling adil karena posisinya sebagai utusan Allah ﷻ. Ini adalah ucapan yang sangat logis dan mudah diterima. Pernyataan ini bertujuan untuk mengentaskan keraguan serta menghardik orang yang menuduh integritas Nabi ﷺ.

Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat di artikel berikut: Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?

Landasan dalil: Pernyataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai ahli Al-Qur’an

Menyebutkan keutamaan diri juga kita dapatkan dari riwayat lain semisal beberapa sahabat yang dikenal sebagai ahli di bidang tertentu. Semisal Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang memiliki keutamaan sebagai ahli Al-Quran. Beliau pernah mengatakan,

والله الذي لا إله غيره ما أنزلت سورة من كتاب الله إلا أنا أعلم أين أنزلت ولا أنزلت آية من كتاب الله إلا أنا أعلم فيما أنزلت ولو أعلم أحدا أعلم مني بكتاب الله تبلغه الإبل لركبت إليه

“Demi Zat yang tidak ada sesembahan selain-Nya, tidaklah turun surah dari Al-Qur’an kecuali aku tahu di mana turunnya. Dan tidaklah turun ayat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu pada perkara apa turunnya. Kalau aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an daripada aku yang bisa ditemui dengan unta, maka aku akan naik unta menemuinya.” (HR. Bukhari no. 5002) [3]

Pernyataan Ibnu Mas’ud sangat tegas menyebutkan keutamaan dirinya dalam bidang ilmu Al-Quran. Hal ini dilandasi kepada usaha kerasnya dalam mempelajari Al-Qur’an dan pengakuan Nabi ﷺ.

من سره أن يقرأ القرآن غضا طريا كما أنزل فليقرأه على قراءة ابن أم عبد

“Barangsiapa yang senang untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana turunnya, maka hendaknya ia membaca sesuai dengan qiro’ah-nya (bacaannya) Ibnu Ummi ‘Abdin (yaitu Ibnu Mas’ud).” (HR. Ahmad no. 35 dan Ibnu Hibban no. 7066) [4]

Bahkan disebutkan bahwasanya beliau akan menemui seseorang yang lebih berilmu tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya dengan unta. Artinya, beliau bisa menjamin bahwa sejauh perjalanan unta pada umumnya, tidak ada yang lebih mengetahui tentang Al-Qur’an dibandingkan dirinya. Kalau digambarkan dengan realita saat ini, mungkin ini adalah ungkapan yang cukup hiperbolis. Namun, inilah realita ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Dalam riwayat lain dari Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu yang belajar bacaan Al-Qur’an dengan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mendapati bacaan yang baru didengarnya. Namun, Ibnu Masud bisa menjaminkan bahwa para sahabat mengakui bahwa dirinyalah yang paling mengetahui Al-Qur’an. Lalu, Syaqiq bin Salamah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

فجلست في حِلق أصحاب محمد ﷺ، فما سمعت أحدا يرد ذلك عليه، ولا يعيبه

“Lantas aku duduk dalam halaqah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ (lainnya) dan aku tidak mendengar seorang pun membantah hal tersebut atau mencelanya.” (HR. Bukhari no. 5000 dan Muslim no. 2462) [5]

Riwayat ini dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam penjelasan (syarah) hadis tersebut,

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ جَوَازُ ذِكْرِ الْإِنْسَانِ نَفْسَهُ بِالْفَضِيلَةِ وَالْعِلْمِ وَنَحْوِهِ لِلْحَاجَةِ وَأَمَّا النَّهْيُ عَنْ تَزْكِيَةِ النَّفْسِ فَإِنَّمَا هُوَ لِمَنْ زَكَّاهَا وَمَدَحَهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ بَلْ لِلْفَخْرِ وَالْإِعْجَابِ

“Hadis ini menunjukkan kebolehan seseorang menyebutkan keutamaan, ilmu, dan sebagainya jika diperlukan. Adapun larangan memuji diri sendiri (tazkiyah–menyucikan), hanya berlaku bagi mereka yang menyucikan dan memuji diri sendiri tanpa alasan, melainkan karena kesombongan dan keangkuhan.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 16)

Landasan dalil: Sahl bin Sa’ad sangat mengetahui tentang mimbar

عن أبي حازم أن نفراً جاءوا إلى سهل بن سعد – قد تماروا في المنبر، من أي عود هو ؟ فقال: أما والله، إني لأعلم من أي عود هو ، ومن عمله

Dari Abu Hazim, dikisahkan suatu ketika sekelompok orang datang kepada Sahl bin Sa’ad, mereka sedang berdebat tentang mimbar, menanyakan dari jenis kayu apa mimbar itu dibuat. Ia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui dari jenis kayu apa ia terbuat dan siapa pembuatnya…” (HR. Bukhari no. 917) [6]

Dalam riwayat lain, Sahl berkata,

ما بقي في الناس أعلم مني

“Tidak ada seorang pun di antara manusia yang lebih mengetahui daripada aku…”

Syekh Saad Asy-Syal dalam Adabul Ikhtilaf menjelaskan,

وإنما قال سهل ذلك ليطمئنوا إلى روايته اطمئناناً يزيل ما وقع بينهم من التماري في المنبر

“Sahl mengatakan hal itu untuk menenangkan mereka dan mengakhiri perdebatan yang terjadi di antara mereka tentang mimbar.” (Adab Al-Ikhtilaf, hal. 270)

Manfaat menyebutkan keutamaan diri sendiri di momen yang tepat

Simaklah perkataan An-Nawawi rahimahullah yang menjelaskan dalil-dalil di atas,

وَقَدْ كَثُرَتْ تَزْكِيَةُ النَّفْسِ مِنَ الْأَمَاثِلِ عِنْدَ الْحَاجَةِ كَدَفْعِ شَرٍّ عَنْهُ بِذَلِكَ أَوْ تَحْصِيلِ مَصْلَحَةٍ لِلنَّاسِ أَوْ تَرْغِيبٍ فِي أَخْذِ الْعِلْمِ عَنْهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ

“Memuji diri sendiri telah menjadi hal yang lazim di kalangan orang-orang berbudi luhur jika diperlukan, misalnya untuk menangkal munkar atau menghasilkan manfaat bagi manusia, atau untuk mendorong mereka belajar darinya, atau hal semisal lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17) [7]

Kemudian An-Nawawi rahimahullah memberikan beberapa contoh menyebut keutamaan diri sendiri, semisal Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam QS. Yusuf: 55 untuk kebutuhan maslahat. Adapun dalam upaya mendorong orang untuk mengambil ilmu, semisal perkataan Sahl bin Saad dan Ibnu Masud tersebut.

Intinya menurut An-Nawawi ini adalah kelaziman di kalangan orang yang memiliki keutamaan. Karena seringkali kebenaran itu tidak diketahui oleh orang kecuali ia memiliki ilmu tentang perkara tersebut. Serta dengan pernyataan demikian, dapat mengokohkan seseorang dalam belajar kepada seorang guru atau ahli ilmu.

Menyebutkan keutamaan diri dapat menyelamatkan di momen genting

Salah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah ketika momen genting. Bahkan terdapat contoh ketika nyawa telah menjadi ancamannya. Kisah yang dibawakan An-Nawawi rahimahullah adalah ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung oleh sekelompok pemberontak. Maka, di momen itu Usman radhiyallahu ‘anhu mengingatkan mereka tentang kebaikan dan jasa Usman radhiyallahu ‘anhu untuk kaum muslimin,

وَمِنْ دَفْعِ الشَّرِّ قَوْلُ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي وَقْتِ حِصَارِهِ أَنَّهُ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ وَحَفَرَ بِئْرَ رُومَةَ

“Salah satu manfaat menyebutkan kebaikan dalam menolak keburukan adalah perkataan Usman radhiyallahu ‘anhu ketika pengepungan dirinya. Beliau mengatakan bahwasanya dirinya telah membekali pasukan di masa kesulitan serta ia telah menggalikan sumur rumah.” (Syarah Shahih Muslim, 16: 17)

Simaklah ungkapan lengkap Usman radhiyallahu ‘anhu berikut,

أنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عنْه حِينَ حُوصِرَ، أَشْرَفَ عليهم وقالَ: أَنْشُدُكُمُ اللَّهَ، ولَا أَنْشُدُ إلَّا أَصْحَابَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ: مَن حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَحَفَرْتُهَا؟ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أنَّهُ قالَ: مَن جَهَّزَ جَيْشَ العُسْرَةِ فَلَهُ الجَنَّةُ، فَجَهَّزْتُهُمْ؟ قالَ: فَصَدَّقُوهُ بما قالَ

“Ketika Usman radhiyallahu ‘anhu dikepung (di rumahnya), ia menampakkan diri di hadapan mereka lalu berkata, “Aku memohon kepada kalian demi Allah! Dan aku tidak memohon kecuali kepada para sahabat Nabi ﷺ — tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, ‘Siapa yang menggali sumur Rumah (Bi’r Rūmah), maka baginya surga.’ Lalu akulah yang menggali (membelinya untuk umat)! Tidakkah kalian juga mengetahui bahwa beliau ﷺ bersabda, ‘Siapa yang mempersiapkan pasukan al-‘Usrah, maka baginya surga.’ Dan akulah yang mempersiapkannya?” Lalu mereka pun membenarkan apa yang beliau katakan.”

Usman radhiyallahu ‘anhu mau tidak mau harus mengingatkan para pengepungnya bahwa dirinya memiliki jasa dalam mempersiapkan pasukan Perang Tabuk. Sebagaimana kita ketahui, memang Usman radhiyallahu ‘anhu terkenal sebagai seorang sahabat kaya raya yang telah membekali dan membiayai perang kaum muslimin. Betapa besar jasa ini?! Tidak hanya itu, bahkan Usman radhiyallahu ‘anhu telah menggali sumur rumah dan mewakafkannya untuk kebutuhan kaum muslimin. Dan telah sahih dari Nabi ﷺ bahwasanya wakaf sumur rumah itu berbalas surga!

Bayangkan betapa sakitnya hati seorang Usman radhiyallahu anhu di kala itu?! Sebuah perselisihan terjadi hingga mengancam jiwa seorang khalifah yang memiliki jasa dan sejarah panjang. Betapa pahitnya ketika kalimat itu diucapkan oleh seorang Usman radhiyallahu ‘anhu kepada orang yang bodoh akan keutamaan dirinya. Maka, jika kita merenungi momen Usman radhiyallahu ‘anhu ini, kita akan mengetahui bahwa menyebutkan keutamaan diri dalam momen seperti ini adalah asas yang dapat menolak keburukan dan menjadi jalan mendatangkan kebaikan.

Kesimpulan manfaat

Jika disederhanakan, tujuan dan manfaat dari asas ini adalah:

Meredakan pertengkaran

Karena kebanyakan orang ketika berselisih, ia tidak menghadapinya dengan keadilan. Seringkali sisi emosional yang lebih dikedepankan dibandingkan rasionalitas. Hal ini memicu ketidakstabilan. Oleh karena itu, yang lahir terkadang bukanlah argumentasi ilmiah, tetapi strategi melawan balik. Hal ini dapat diredam dengan mengetahui hakikat diri seseorang yang sedang dihadapi. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Usman radhiyallahu ‘anhu dalam kondisi tersebut.

Mengarahkan perselisihan kepada ranah ilmiah yang kontekstual

Setelah mengetahui keutamaan seseorang, maka ranah perselisihan dapat ditarik ke dalam ruang lingkup dan konteks pembicaraan yang keduanya relevan di dalamnya. Masing-masing pihak akan menjadi tahu cara merespons atau menanggapi argumen sesuai latar belakang. Serta dengan demikian, dapat mengetahui runutan logis mengapa seseorang berpendapat A, atau menentang pandangan B, dan lain sebagainya. Hal ini terangkum dalam atsar Sahl bin Saad radhiyallahu ‘anhu.

Menunjukkan otoritas dan kapabilitas sehingga dakwah lebih mudah diterima, dan argumen tidak ditentang tanpa kajian mendalam

Dalam beragam konteks sosial masyarakat; strata pendidikan, status sosial, dan pengalaman hidup, menjadi bagian integral dalam struktur kemasyarakatan. Mudah sekali bagi kita menempatkan seorang dosen di lingkungan menjadi penasihat atau pembina kegiatan. Atau menjadikan seorang pejabat negara sebagai sosok yang dimintai pandangannya dalam sebuah keorganisasian. Tentu ketika kita menghadapi mereka pun dengan cara yang berbeda.

Atau sebagian keadaan menunjukkan bahwa seorang ustadz bergelar profesor doktor akan lebih diterima di masyarakat dibandingkan seorang ustadz lulusan pondok. Padahal, gelar tidak menjadi cermin mutlak atas penguasaan ilmu. Namun, inilah realitas masyarakat. Sebagaimana Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu pun harus mengucapkan hal semisal ini dalam rangka agar dakwahnya diterima oleh muridnya.

Menunjukkan kepada mad’u lainnya bahwa inilah otoritas anda dan silakan menilai dengan informasi yang ada

Ketika memperhatikan kisah Yusuf saat menawarkan diri menjadi wazir, maka terdapat faidah bahwa tujuan Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah untuk menyelamatkan harta yang seringnya terlalaikan. Namun, faidah lainnya adalah Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak menawarkan dalam konteks memaksa. Melainkan hanya bertujuan untuk memaparkan realita masalah beserta solusi bahwa ada seorang yang dapat mengatasinya. Akan tetapi, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak memaksakan dengan perkataan semisal, “Anda kalau tidak pilih saya, maka saya akan boikot.” Hal ini menunjukkan bahwa boleh bagi kita untuk menunjukkan keahlian dan otoritas kita dalam konteks tertentu, tetapi penilaian akhir tetap berdasarkan keputusan si penerima atau pendengar. Hal terpenting yang dimaksudkan dari asas ini adalah kita hanya memaparkan data riil yang kita miliki agar penilaian seorang kepada kita berimbang dan adil.

Melepaskan diri dari tuduhan

Salah satu manfaat dari menyebutkan keutamaan diri adalah membantah sebuah tuduhan. Mungkin bagi sebagian orang, tuduhan ini tidak menjadi hal yang fatal. Namun, jika tuduhan itu telah menghancurkan reputasi seseorang, semisal integritasnya, kejujurannya, atau sifat amanahnya, maka ini sangat fatal. Oleh karena itu, berhak bagi seorang muslim untuk membela dirinya.

Sebagaimana Nabi ﷺ pernah dituduh tidak adil dalam pembagian ghanimah perang. Nabi ﷺ mengatakan, “Kalau aku tidak amanah, maka siapa lagi yang bisa berlaku amanah?!”

Bagi orang yang berakal, maka ia akan mengetahui bahwa ini adalah perkataan yang sangat tajam, tegas dan mengandung pesan yang luar biasa. Sebab amanah adalah hal yang paling mudah untuk digunjingkan. Padahal, memegang amanah itu memanglah tidak mudah. Karena bukan hajat hidup satu orang, tetapi hajat hidup orang banyak. Jika seorang tidak amanah, maka ini adalah kepemimpinan yang rusak dan mengantarkan ke neraka. Maka, tuduhan semacam ini pun akan merusak banyak hal, seperti keamanan kaum muslimin. Namun, yang lebih fundamental lagi adalah tuduhan semacam ini bisa sangat berdampak pada mental dan keadaan psikologis seseorang.

Ingat bahwasanya mengganggu kaum muslimin itu berdosa besar. Sementara orang yang menjadi korbannya perlu segera mengobati lukanya, dan mengingat bahwa janji Allah ﷻ senantiasa benar tak pernah dusta. Termasuk janji bahwa gangguan orang lain akan menjadi instrumen mekanisme pengguguran dosa.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 8

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Shamela.ws

[2] Dorar.net

[3] Dorar.net

[4] Dinilai shahih sanadnya oleh Syekh Ahmad Syakir sebagaimana referensi dorar.net

[5] Berdasarkan takhrij hadis dalam Adabul Ikhtilaf, dalam referensi lain berada pada Muslim no. 4629.

[6] Keterangan dalam hadis cukup panjang, penulis Adabul Ikhtilaf menyebutkannya dari Bukhari no. 377 dan Muslim no. 544. Adapun penomoran ini merujuk kepada dorar.net

[7] Shamela.ws


Artikel asli: https://muslim.or.id/110262-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-9.html